Sunday, July 11, 2010

Alasan Yang sering Orang Pakai Untuk Membolehkan Poligami, Padahal Mereka Tidak Tahu...!

Hampir semua orang yang berpoligami adalah para tokoh atau yang ditokohkan oleh masing-masing komunitasnya. Berbeda-beda status ketokohan mereka, ada tokoh politik, tokoh pengusaha, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Masing-masing tokoh itu berpoligami, biasanya karena ada tokoh agama yang berani berpoligami atau tidak berpoligami tetapi dia memperbolehkan poligami dengan berbagai alasan. Orang-orang awam yang berpoligami pada umumnya hanya meniru tokoh mereka, alasannya tidak apa-apa, tidak ada yang melarang.
Alasan-alasan berpoligami itu sering kali dikatakan berdasarkan pada ajaran Islam. Dalam prakteknya selalu terjadi kedhaliman dengan ketidakadilannya itu. Koreksi tentang alasan-alasan bolehnya berpoligami ini menjadi sangat penting dan perlu karena sebenarnya ajaran Islam itu tidak untuk melegalkan kedhaliman, justru sebaliknya, yakni kehadiran Islam itu adalah untuk menghapus kedhaliman. Diharapkan dengan koreksi ini dapat diketahui kebe-naran atau kekeliruan alasan-alasan untuk berpoligami selama ini.
Koreksi alasan-alasan berpoligami ini merupakan hasil ijtihad. Meskipun suatu hasil ijtihad tidak mutlak bisa menghapus ijtihad sebelumnya tetapi usaha untuk mendekati kebenaran perlu dikemukakan sehingga dapat dijadikan wawasan untuk terus meningkatkan kualitas ijtihad berikutnya.
Alasan-alasan berpoligami yang tidak terbukti kebenaran dasarnya pada ajaran Islam akan tampak dengan lebih jelas bahwa alasan-alasan itu tidak bisa dipedomani. Alasan-alasan demikian itu cukup untuk diketahui saja agar tidak terulang lagi. Berikut ini secara rinci alasan-alasan yang sering dipakai untuk berpoligami.

1. Alasan-1: Untuk Mendapat Keturunan
Ada pendapat yang memperbolehkan berpoligami untuk mendapat keturunan. Nabi Muhammad SAW. tidak menerangkan niat beliau untuk mendapat keturunan dari isteri-isteri beliau ketika berpoligami. Memang beliau memiliki seorang bayi dari isterinya, Maria (al-Qibthiyah), seorang budak yang dihadiahkan kepada beliau dari seorang penguasa, Raja Muqauqis dari Iskandariyah, yang lebih dikenal sebagai Gubernur Mesir, namun bayi itu meninggal ketika masih kecil kurang lebih berumur 11 bulan.
Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Maria memberikan pengajaran praktis bahwa beliau memperlakukan budak dengan sangat baik. Beliau bukan hanya memerintahkan saja untuk berlaku baik terhadap para budak, tetapi beliau menerapkan juga perintahnya itu.
Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ أبِى مُوْسَى الأشْعَرِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثَلاثَةٌ لَهُمْ أجْرَانِ: رَجُلٌ مِنْ أهْلِ الكِتَابِ آمَنَ بِنَبِيِّهِ وَ آمَنَ بِمُحَمَّدٍ, وَ الْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ إذََا أدّىَّ حَقَّ اللهِ وَ حَقَّ مَوَالِيْهِ وَ رَجُلٌ كَانَتْ لَهُ أمَةٌ فَأدَّبَهَا فَاحْسَنَ تَاْدِيْبَهَا وَ عَلَّمَهَا فَاحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أجْرَانِ- مَتَّفَقٌ عَلَيْهِ

(Dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tiga macam orang yang mendapat pahala mereka lipat dua kali, ialah ahli kitab yang telah beriman kepada Nabinya kemudian beriman pula kepada Muhammad, dan seorang hamba sahaya jika menunaikan kewajiban terhadap Allah dan terhadap majikannya, dan orang yang memiliki budak perempuan lalu dididik dan diajari sehingga berakhlaq dan pandai, kemudian dimerdekakan dan dinikahi maka ia mendapat pahala lipat dua kali) (HR. Bukhari Muslim).
Al-Quran dan hadis tidak memerintahkan berpoligami dengan alasan apa pun, termasuk untuk mendapat keturunan. Pernikahan yang dibentuk dengan tali yang kokoh (Mitsaqan Gholidhoh) tidak layak kalau timbul permasalahan dalam pernikahan itu hanya karena adanya keinginan yang sepihak, yakni keinginan untuk mempunyai anak dengan cara poligami. Anak angkat sering kali bisa lebih baik dan bisa menghilangkan sifat egois yang berlebihan. Tidak ada dalil yang mewajibkan semua orang untuk mempunyai anak. Lebih tidak patut lagi kalau perintah berpoligami dengan alasan untuk mendapat keturunan itu didasarkan pada al-Quran dan hadis. Jelas sekali bahwa alasan berpoligami untuk mendapat keturunan tidak berasal dari ajaran Islam.

2. Alasan-2: Keadaan Darurat
Ada anggapan bahwa tidak ada dasar untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya, maka dimunculkan istilah “pintu darurat kecil”. Keadaan darurat itu menimbulkan suatu tindakan yang tidak dikehendaki tetapi harus dilakukan dengan terpaksa. Keadaan ini dicontohkan dengan pengandaian, yakni kalau seorang isteri tidak mampu melayani suaminya secara biologis, misalnya karena sakit parah.
Keadaan darurat demikian itu merupakan suatu keadaan yang sangat memperihatinkan dan menyedihkan. Usaha untuk menyembuhkan isteri yang sakit parah itu menjadi prioritas utama. Usaha suami demikian itu merupakan suatu kewajiban dengan pahala yang sangat besar dan suatu keniscayaan sebagai konsekuensi logis dari suatu pernikahan yang mulia dan tulus.
Seorang laki-laki ketika berada dalam keadaan sangat menyedihkan tidak mudah muncul dorongan nafsu syahwatnya. Sangatlah aneh kalau seorang suami yang sedang susah mempunyai keinginan untuk memuaskan nafsunya dengan berpoligami. Tidak ada nafsu syahwat ketika bersedih. Poligami pada keadaan darurat demikian ini justru menunjukkan betapa tega dan sampai hati seorang suami berbuat demikian, pada saat-saatnya si isteri sakit dan memerlukan bantuan ternyata sang suami bersenang-senang dengan isteri yang baru. Al-Quran dan hadis tidak mengajarkan sifat demikian, apalagi terhadap isteri sendiri. Sangatlah tidak masuk akal kalau Islam mengijinkan berpoligami dengan alasan keadaan darurat sedemikian itu.

3. Alasan-3: Menghindari Perzinahan
Ada orang yang menganggap bahwa berpoligami itu dibolehkan dengan alasan bahwa monogami itu dapat berdampak pada hubungan illegal di luar pernikahan dan prostitusi, lalu Islam ingin membuka sebuah hubungan tanpa adanya ’kumpul kebo’ yang dirahasiakan yang merusak masyarakat. Anggapan ini sama saja dengan maksud orang yang mengatakan demikian: „Dari pada nikah sirri atau berbuat zinah lebih baik melakukan poligami secara resmi“. Maksud perkataan ini sama kelirunya dengan ucapan seseorang yang katanya ditokohkan, demikian ucapannya: „Poligami merupakan pilihan yang paling bijaksana jika dibanding dengan TTM alias teman tapi mesum”.
Anggapan keliru tersebut sangat perlu untuk segera diluruskan. Islam tidak menyuruh berpoligami sebagai jalan keluar dari pandangan mata maksiat ataupun perzinahan. Tidak pernah ada perintah agar menikah lagi dengan perempuan lain yang dilihat dengan alasan supaya tidak berdosa kalau melihat lagi atau berkumpul dengan perempuan lain itu.
Orang yang menganggap bahwa berpoligami itu untuk memenuhi kebutuhan seksual yang bermula dari pandangan maksiat tidaklah tepat karena pada saatnya nanti ketika melihat perempuan yang lain lagi akan kambuh lagi keinginan untuk ’menghalalkan’ maksiatnya dengan menikah lagi. Kadang-kadang alasannya adalah karena memandang seorang anak perempuan yang ’imut-imut’ secara sepintas tidak sengaja tetapi terus tertarik dan kemudian minta ijin kepada isterinya yang akan dimadu untuk menikahi anak perempuan kecil itu. Begitu alasannya untuk menikah lagi dan menikah lagi sampai tiba ajalnya atau berkesempatan untuk bertobat karena mendapat pertolongan Allah SWT.
Para pelaku poligami dengan alasan menghindari perzinahan ini pintar berargumentsi tetapi tidak memiliki ilmu untuk bisa mengendalikan nafsu syahwatnya. Mereka itu diragukan kesetiaan terhadap isterinya dan apalagi terhadap agama Islam yang menyuruh setia pada isterinya dan mengajarkan cara pengendalian nafsu, yakni dengan berpuasa yang baik.
Perzinahan itu hanya bisa dicegah dengan tidak berzinah dan menjauhi perzinahan. Memperbolehkan poligami dengan alasan menghindari perzinahan adalah pelecehan terhadap ajaran Islam. Perbuatan ’kumpul kebo’ selalu dimulai dari pelanggaran terhadap ajaran Islam, yakni melanggar larangan untuk dekat-dekat dengan perzinahan, minimal dengan mencuri-curi pandang pada perempuan bukan mahramnya. Nabi Muhammad SAW berpoligami bukan untuk menghalalkan setelah memandang-mandang kemudian tertarik. Betapa besar dosa orang yang punya anggapan bahwa Nabi itu berpoligami sama seperti dirinya untuk menghindari perzinahan.
Poligami bukan jalan keluar dari perzinahan. Meskipun sudah berpoligami masih tetap saja berpeluang untuk berzinah dengan yang lainnya. Jadi sangat tidak patut orang Islam memiliki pertimbangan bahwa dari pada berzinah lebih baik berpoligami. Pendapat demikian ini bisa disebut sebagai sebuah ’nyanyian setan’, sama sekali tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis,

4. Alasan 4: Melatih Diri Berlaku Adil
Ada yang beranggapan bahwa orang berpoligami itu sekedar uji coba, mampukah berlaku adil. Kalau ternyata tidak mampu berlaku adil maka wajib kembali dengan satu isteri. Kalau ternyata mampu berlaku adil berarti memenuhi syarat untuk diteruskan. Islam tidak akan mungkin mengajarkan latihan berlaku adil dengan cara berpoligami, karena al-Quran menjelaskan bahwa siapa saja yang berpoligami tidak akan mampu berlaku adil (QS. al-Nisa’: 129).
Lebih naif lagi ketika disimpulkan bahwa berpoligami itu berkaitan dengan masalah kemampuan secara material sebagaimana ibadah haji. Ini berarti siapa saja yang mampu membiayai hidupnya dengan banyak isteri boleh berpoligami, dan yang tidak mampu tidak boleh. Ini jelas berbeda dari masalah haji. Kewajiban berhaji itu bagi orang yang mampu sehingga kalau tidak mau berhaji maka berdosa, sedangkan orang yang mampu secara material tetapi tidak mau berpoligami dia tidak berdosa. Tidak ada kewajiban berpoligami meskipun mampu secara material. Ini penting dijelaskan sedemikian rupa jelasnya karena fatalnya kesalahan dalam memahami al-Quran surat al-Nisa’/4: 3.
Kesalahan yang fatal tersebut di atas merupakan akibat dari kesalahkaprahan menjadikan ’adil’ sebagai syarat poligami. Demikian ini tidak lain hanyalah disebabkan tidak adanya ketelitian dalam memahami struktur bahasa al-Quran, sehingga tidak paham dengan semestinya maksud ayat-ayat al-Quran yang dikaitkan dengan poligami. Tiadanya pengertian demikian ini selanjutnya menyebabkan adanya upaya untuk memenuhi syarat adil itu kalau ingin berpoligami.
Poligami dengan alasan untuk melatih diri dan meningkatkan kemampuan membiayai dan berlaku adil sangat dekat dengan kesombongan, yakni merasa telah mampu melaksanakan keadilan pada pernikahan yang pertama, yang perlu diuji lagi dengan pernikahan yang kedua dan seterusnya. Demikian ini sangat dekat dengan perilaku pamer atau riya’ tentang kemampuan dalam mengatur dan membiayai banyak perempuan. Poligami untuk latihan berlaku adil itu tidak berdasarkan pada ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW menikahi isteri-isterinya bukan untuk melatih diri meningkatkan kemampuan dalam berlaku adil ataupun dalam membiayai isteri-isterinya secara material.

5. Alasan-5: Menjinakkan Nafsu yang Liar
Ada yang memperbolehkan berpoligami dengan alasan bahwa nafsu seksual kaum laki-laki yang lebih tinggi dari rata-rata umum akan bergeliat dan menjadi liar manakala syariat Allah SWT tidak mem-bukakan jalan. Poligami dianggap jalan yang terbaik untuk menjinakkan nafsu seksual kaum laki-laki. Dalam hal nafsu syahwat, semua laki-laki yang ‘kesetanan’ tidak akan merasa cukup dengan satu perempuan. Nafsu seksual laki-laki tidak bisa jinak dengan berpoligami.
Al-Quran dan hadis tidak menerangkan bolehnya berpoligami meskipun kekuatan nafsu syahwatnya tidak bisa dipuaskan dengan seorang perempuan. Islam mengajarkan agar berpuasa dengan baik untuk meredam gejolak nafsu syahwat yang kuat. Sejak dari awal Islam menganjurkan untuk menikah agar dapat merundukkan pandangan syahwat. Kalau sudah menikah tetapi masih saja belum dapat merundukkan pandangan syahwatnya, yakni masih saja ingin menikah lagi ketika melihat perempuan lain yang menarik, maka itu sebetulnya sama saja dengan adanya keinginan untuk pamer keperkasaan.
Tidak semua keinginan harus dipuaskan, meskipun kelihatannya dihalalkan atau diperbolehkan. Islam tidak mengajarkan bahwa berpoligami itu jalan untuk memuas-muaskan nafsu. Semua orang tahu bahwa tidak ada penyakit yang berlebihan dalam nafsu syahwat kecuali karena memang dibuat-buat sendiri. Sungguh sangat naif sekali menyandarkan pada al-Quran alasan bolehnya berpoligami karena kuatnya nafsu.

6. Alasan-6: Kelebihan Jumlah Perempuan
Kaum perempuan memiliki hak pilih dan hak untuk menolak pinangan. Namun demikian kaum lelaki mempunyai keaktifan untuk lebih dulu memilih perempuan yang akan dijadikan isterinya. Kaum perempuan menjadi sasaran untuk dipilih. Dengan demikian banyaknya jumlah perempuan yang melebihi jumlah laki-laki menjadi suatu keniscayaan. Tidaklah masuk akal kalau jumlah pilihan sama atau lebih sedikit dari pada jumlah yang memilih.
Berpoligami dengan alasan kasihan pada kaum perempuan yang tidak bersuami karena jumlahnya lebih banyak dari pada kaum laki-laki merupakan kebalikan dari poligami dengan alasan darurat. Dalam kasus jumlah perempuan lebih banyak dari pada kaum laki-laki maka keadaan darurat itu bukan bagi seorang suami. Poligami bukan lagi sebagai ”pintu darurat kecil” tetapi berubah menjadi ”pintu gerbang kasih sayang” karena berpoligaminya dengan alasan kasihan terhadap kaum perempuan yang belum pernah dinikahi.
Pada kasus poligami yang darurat saja sudah kelihatan bahwa alasannya dibuat-buat, maka pada kasus ”pintu gerbang kasih sayang” ini lebih tampak nyata bahwa alasan itu dibuat-buat agar poligaminya dianggap sebagai suatu kebaikan. Ada pergeseran alasan mengarah pada kehalusan, dari ’terpaksa’ menjadi ’kebaikan hati’. tetapi tujuan tetap sama, yakni supaya diperbolehkan berpoligami. Inilah salah satu perangkap setan.
Islam tidak mengajarkan poligami dengan alasan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Nabi Muhammad SAW menikah setelah Khadijah RA wa-fat bukan karena banyaknya jumlah perempuan. Berpoligami dengan alasan demikian jelas bukan ajaran Islam.

7. Alasan-7: Membesarkan Asma Allah
Ada seorang perempuan yang dimadu memberikan pengakuan bahwa berpoligami yang didasarkan pada Allah SWT. tidak akan menimbulkan masalah, bahkan enak dan perlu bagi perempuan dan laki-laki sebagai pendidikan hati untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan pernyataan “poligami yang didasarkan pada Allah”.
Poligami dianggap sebagai pendidikan hati agar mudah membesarkan asma Allah. Islam tidak mendidik hati melalui poligami. Demikian juga untuk membesarkan asma Allah tidak perlu dengan berpoligami. Ucapan seorang perempuan yang sedang dimadu seperti itu hanyalah sebuah kemasan dari orang pintar untuk menutup-nutupi agar orang lain mengira bahwa poligami yang dilakukan oleh suaminya itu baik dan tidak menyakiti hatinya. Ini terbukti dengan pengakuannya bahwa kalau suaminya sedang asyik dengan isterinya yang lain maka mereka bertiga ngobrol-ngobrol di satu kamar. Kapan membesarkan asma Allah, kalau sedang ditinggal oleh suaminya diisi dengan mengobrol?
Pengakuan yang dikemukakan perempuan tersebut di atas menunjukkan kelemahannya dan itu hanyalah suatu apologis dari orang pandai yang terdhalimi dan berusaha untuk menutup-nutupi kedhaliman suaminya. Al-Quran dengan jelas menerangkan bahwa berpoligami itu berbuat kedhaliman dengan berlaku tidak adil. Islam tidak menganjurkan poligami apalagi dengan alasan untuk mendidik hati, karena yang terjadi adalah kedhaliman.
Perlu dipahamkan berulang-ulang bahwa tidak ada anjuran dan apalagi perintah untuk membesarkan asma Allah dengan berpoligami. Pada umumnya orang-orang yang banyak berdzikir dan membesarkan asma Allah SWT sangat berhati-hati dan sibuk dengan bertasybih sendiri, dan tidak terlintas dalam benaknya istilah poligami. Jelaslah bahwa berpoligami dengan alasan demikian tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis.

8. Alasan-8: Melindungi Kaum Perempuan
Belakangan banyak poligami dengan alasan untuk melindungi kaum perempuan. Biasanya perempuan yang dimaksud adalah seorang janda. Alasan yang sebenarnya untuk melindungi atau hanya pura-pura saja, semua itu diketahui oleh Allah SWT. Perlu introspeksi secara jujur. Boleh jadi niat menolong dan melindungi itu karena telah lebih dulu memperhatikan kecantikan janda itu kemudian mencari alasan supaya dianggap layak untuk berpoligami. Poligami dengan alasan demikian ini jelas tidak berdasarkan al-Quran ataupun hadis.
Niat melindungi perempuan itu baik, akan tetapi kalau niat itu muncul setelah lebih dulu tertarik pada paras kecantikannya, maka sebetulnya terhadap perempuan yang ingin dinikahi untuk menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat itu saja sudah ada niat menipu. Tidak setulusnya untuk melindungi. Ini jelas bukan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW. meminang seorang janda dari jauh setelah mendengar berita bahwa janda itu perlu dilindungi agamanya, tanpa dilihat-lihat lebih dulu paras kecantikannya.
Di samping itu perlu diketahui bahwa praktek poligami dengan niat melindungi itu tidak sama dengan peristiwa yang diceritakan dalam al-Quran, bahwa seorang anak (perempuan) yatim kaya yang perlu dilindungi itu adalah karena berada dalam “kungkungan” walinya sendiri yang ingin menikahi dengan niat menguasai harta pusaka anak yatim itu, yang menurut adat jahiliyah diperbolehkan. Allah SWT menjelaskan agar tidak terjadi kebiasaan dhalim terhadap anak yatim itu. Allah berfirman yang artinya demikian:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para perempuan. Katakanlah “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran, (juga menfatwakan) tentang para perempuan yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan Allah menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya” (QS. An-Nisa’/4: 127)
Dalam kenyataannya poligami yang terjadi dewasa ini menyimpang sangat jauh, bahwa yang dipahami adalah melindungi anak yatim, baik laki-laki ataupun perempuan dengan cara menikahi ibunya yang janda itu. Jadi sekarang ada anggapan dibolehkan berpoligami dengan menikahi seorang janda dengan alasan menolong. Sayang sekali pertolongan itu sering justru menyakiti isteri yang pertama, dan tentu saja tidak ada ajaran Islam yang membiarkan cara ’belah bambu’ dengan menjunjung yang satu dan menginjak yang lain. Membantu atau menolong sesama tidak harus dengan cara melukai hati yang lainnya, apalagi kalau yang disakiti itu adalah hati isterinya sendiri.
Seringkali alasan yang dikemukakan adalah hendaknya tidak hanya memperhatikan isteri pertama yang sakit hati tetapi juga perlu diperhatikan isteri kedua, ketiga atau keempat yang merasa dilindungi, apalagi kalau seorang janda. Alasan sakit hati itu juga dianggap hanya muncul karena adanya pandangan bahwa poligami itu sebagai sesuatu yang buruk. dan kalau poligami itu dianggap sebagai sesuatu yang baik maka tidak akan sakit hati bahkan bersedia mencarikan isteri lagi bagi suaminya dengan suka rela sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan ‘aktivis’ muslimah. Ini semua hanyalah alasan yang berdasarkan anggapan bahwa poligami itu baik. Anggapan itu sendiri tidak berdasar dan dipaksakan sebagai doktrin oleh kekuatan hegemoni kaum lelaki.
Memang, rasa suka rela itu bisa muncul kalau sudah beranggapan bahwa poligami itu baik. Permasalahannya di sini adalah bahwa anggapan itu bukanlah dasar kebenaran untuk beramal. Lagi pula sudah sangat jelas bahwa berpoligami itu berbuat ketidakadilan (QS. An-Nisa’/4:129), dan ketidakadilan itu jelas tidak baik. Kaum perempuan yang rela dalam ketidakadilan itu tentu saja karena berbagai sebab. Sebab utamanya adalah tidak mengerti bahwa mereka mempunyai hak untuk tidak didhalimi dan atau tidak punyai keberanian untuk menuntut haknya itu.
Selanjutnya perlu diingat kembali bahwa menjaga anak yatim itu adalah tugas atau kewajiban umat Islam secara keseluruhan. Jadi tidak perlu dipaksakan melindungi anak yatim dengan cara menikahi ibunya. Lagi pula membantu anak yatim tidak harus menikahi ibunya. Jadi poligami dengan menikahi para janda dengan dasar ayat 127 surat al-Nisa’ tersebut adalah tidak benar.

9. Alasan-9: Mengikuti Sunnah Nabi dan Dakwah
Ada seorang perempuan yang membiarkan suaminya berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah dan demi dakwah. Perlu diingat kembali bahwa menikah dengan seorang perempuan itu melaksanakan sunnah Nabi. Menikah itu memang diperintah oleh Nabi bagi yang sudah mampu untuk berumah tangga, tetapi Nabi tidak pernah memerintahkan untuk berpoligami dengan alasan apa pun.
Dakwah itu merupakan suatu keharusan, tetapi dakwah itu tidak harus dengan berpoligami. Nabi Muhammad SAW menikah dengan salah satu isterinya bernama Juwairiyah adalah untuk berdakwah sehingga diikuti oleh sekian banyak kaum Bani Musthaliq yang masuk Islam. Kenyataan sekarang ini orang berpoligami meskipun dengan niat dakwah tetapi tidak diikuti oleh sejumlah kaum keluarga perempuan itu untuk masuk Islam. Mereka sudah beragama Islam. Kesamaan niat dakwah dengan kondisi masyarakat yang didakwahi mesti dipenuhi kalau memang berpoligaminya itu dengan niat berdakwah.
Ada yang sudah menginsafi bahwa orang yang berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah Nabi adalah orang yang terlalu sombong. Boleh jadi kesombongan itu adalah karena menganggap dirinya sama dengan Nabi. Dalam kasus ini terdapat kecerobohan, yaitu membawa-bawa serta nama Nabi. Jadi berpoligami untuk mengikuti sunnah Nabi dan dakwah ini hanyalah upaya untuk melegalkan saja agar dianggap layak berpoligami, Ini bukan ajaran Islam.

10. Alasan-10: Kebolehan Berpoligami
Berpoligami dengan alasan bahwa Islam membolehkan. Alasan ini paling mendasar. Al-Quran surat al-Nisa’/4: 3 dijadikan sebagai dasar bolehnya berpoligami. Koreksi alasan berpoligami dengan dasar demikian adalah koreksi tehadap pemahaman maksud ayat yang dianggap memperbolehkan poligami.
Tidak ada ayat al-Quran yang menyatakan bolehnya berpoligami tanpa resiko dosa berbuat aniaya yang dilarang oleh Islam. Kalau para pelaku poligami itu tidak memerlukan dalil diperbolehkannya berpoligami maka jelaslah disini kelalaiannya. Semua amal peribadatan yang boleh dilakukan oleh umat Islam memiliki dasar ajaran agama, yakni ada perintahnya.
Al-Quran surat al-Nisa’/4: 3 yang dianggap sebagai dasar bolehnya berpoligami itu terbukti justru mengingatkan agar tidak berpoligami dengan perempuan merdeka. Tidak mudah bagi ’pemula’ untuk memahami ayat demikian. Ummi Zahrah mengatakan: ”Poligami itu kan halal, nggak menimbulkan efek samping, ketimbang ’jajan’ yang bisa menimbulkan penyakit menular”. Ucapan ini adalah contoh pemahaman seorang muslimah ’pemula’ itu yang belum bisa mamahami maksud ayat tersebut.
Inti permasalahan ada pada dua hal, yaitu pemahaman pada ayat suci al-Quran dan pemahaman terhadap tujuan pernikahan ’poligami’ Nabi, yakni tujuan Islam itu sendiri. Terhadap ayat yang sering diang-gap memperbolehkan berpoligami hendaknya diteliti lagi sehingga jelas maksud yang dikandung. Tidak akan terdapat pemahaman yang kontradiksi antara maksud ayat itu dengan ’poligami’ Nabi.
Maksud utama ayat tersebut dengan tujuan utama dakwah Islamiyah mesti searah. Kalau maksud ayat itu memperbolehkan berpoligami yang berarti memperbolehkan berbuat dhalim dengan ketidakadilannya itu, maka ayat itu bertentangan dengan tujuan Islam. Ini tidak mungkin. Islam justru bertujuan untuk menghapus kedhaliman itu sendiri dengan cara yang tidak dhalim. Jadi tujuan ayat tersebut bukan memperbolehkan berpoligami. Al-Quran dan hadis menyatakan kebolehan beristeri lebih dari satu kalau dengan para budaknya sendiri. Tujuannya kelihatan jelas, yakni memperlakukan budak itu dengan baik dan memerdekakan keturunan budak itu. Jadi diperbolehkan berpoligami dengan para budak tanpa dibatasi jumlahnya karena mempunyi akibat yang baik bagi budak itu sendiri dan utamanya bagi keturunannya.
Apa yang dikeluhkan oleh seorang yang ditokohkan setelah berpoligami adalah suatu bukti nyata bahwa poligami itu tidak dianjurkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. Keluhannya demikian: “Saya punya perusahaan lebih dari satu, karyawan banyak, tapi itu gampang ngurusnya. Tapi ini isteri lebih dari satu, aduh....” Keluhan itu tentu hanya muncul karena ada kekeliruan dalam amalan berpoligami. Berpoligami dengan mengawini perempuan merdeka sama halnya dengan menjadikan mereka sebagai budak, Perilaku demikian ini tentu saja tidak Islami, dan akibatnya muncul keluhan-keluhan. Kalau yang diurus banyak itu berstatus sebagai budak seperti para karyawan yang banyak itu, maka tidaklah menimbulkan keluhan–keluhan.
Islam tidak menganjurkan amalan yang menimbulkan keluhan-keluhan. Apabila perempuan merdeka yang dikawini itu ternyata memang berjiwa budak atau mau menurunkan derajatnya menjadi sebagai seorang budak, dengan kemauannya sendri atau karena dipaksa, tentu tidak akan ada keluhan mengenai sulitnya mengurusi isteri lebih dari satu. Namun demikian, di situ ada kedhaliman. Pada umumnya, hati nurani perempuan itu belum bisa rela kalau suaminya menikah lagi. Setiap isteri tidak siap menghadapi kenyataan suaminya jatuh cinta lagi kepada perempuan lain walaupun isteri ini telah menyetujui suaminya berpoligami.
Kiranya masih banyak lagi alasan lainnya untuk berpoligami yang tidak tercakup dalam kajian ini. Namun demikian cukuplah kajian ini sebagai acuan untuk analog pada alasan-alasan lainnya, yang tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis.

Nice Article from mas Saidun Fiddaroini....

Poligami adalah : KAMU TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL, BETAPAPUN KAMU MAU

Berbicara tentang poligami, bagi saya, seperti membuka luka lama. Ada berbagai hal serta kondisi yang saya ingin, menurut kesadaran saya saat ini, ternyata berbeda dengan yang ada dan terjadi di khasanah kebudayaan dan peradaban Islam. Baik di sejarah Nabi SAW serta para shahabatnya, di seluruh kitab suci termasuk alQuran, dan tak tertinggal di cakrawala jaman keemasan Islam. Tema mengenai perbudakan, terutama kebolehan budak untuk ‘disentuh’ majikannya -bahkan budak yang telah bersuami sekalipun (anNisa: 24), tentang qishas, mut’ah, rajam, dll, sekali lagi menurut saya, seharusnya absen dalam sejarah keislaman. Tetapi ternyata hadir! Sampai hari ini saya harus percaya saja pada hikmahnya, yakni mengkerangka kembali (reframing) fakta negatif (menurut kesadaran saya) ini menjadi tanda: bahwa terhadap alQuran memang tidak terjadi distorsi atau penghapusan. Tidak ada keinginan (baca: nafsu) manusia yang telah merubah atau menghilangkan ayat-ayat alQuran. Sehingga yakin: alQuran diwahyukan dari peti besi yang terjaga (lawh al mahfudz).

Saya dulu hampir putus asa memikirkan tentang fitnah besar yang memulai terpecahnya Islam menjadi Sunni’ dan Syi’ah. Sebelumnya 3 dari 4 shahabat Nabi yang terbimbing (khulafa ul rasyidun), wafatnya lantaran dibunuh. Shahabat Ali’ bahkan dibunuh ba’da sholat subuh oleh kaum yang kemudian disebut sebagai kaum separatis (khawarij), yang merupakan para pencinta Nabi yang sangat bergairah, kaum aktivis keadilan, pengamal tahajjud dan pembaca alQuran yang sangat terpengaruh. Dan luka saya menjadi sangat dalam tatkala sampai pada perseteruan Ali’ dan Muawiyyah, yang berpuncak pada pembantaian keluarga Nabi oleh Yazid, anak Muawiyyah. Kepala Husain yang terpenggal ditenteng berkeliling, diperlihatkan pada semua orang, di hari yang sekarang umum dikenal sebagai Ashura (10 Muharram).

Yang kemudian menjadi memuakkan saya adalah dinisbatkannya agama. Para pendukung berat dinasti umayyah berhujjah, bahwa tindakan Yazid bin Muawiyyah adalah tindakan agamis, mengingat keputusan untuk membantai cucu Nabi SAW adalah semacam ijtihad. Sebagaimana kemudian sering kita dengar: tidak ada dosa dalam ijtihad, bila BENAR mendapatkan 2 pahala, bila SALAH mendapatkan 1. Kesimpulan mereka, meski Yazid salah dalam ijtihadnya sampai membunuh Husain, ia tak berdosa, ia hanya kebagian 1 pahala. Dan sejak saat itu, kedigdayaan dinasti umayyah bertambah-tambah, dan pembantaian kepada para pengikut partai Ali (Syi’ah Ali’) berlanjut sampai saat ini dengan penghalalan darah. Mungkin karena tidak ada dosa, sebagai sebuah ijtihad.

Nah logika inilah yang saya jadikan pengantar bagi pembicaraan santer sekarang ini: POLIGAMI, ADAKAH KARENA ALASAN AGAMA?
Sepemahaman saya, hidup dalam lensa islam tidak ada bagian-bagiannya yang tidak terkait agama. Semua hal ada dalam penilaian agama, terkena hukum Islam (Islam is the relegion of law). Sebuah ruang, waktu dan kejadian hanya dua intensinya: wether compliance to sharia’ OR not. Sesuai hukum Islam ATAU tidak! Bukan ini yang agama dan itu yang non agama. Islam tidak mengenal doktrin urusan Tuhan/langit, yang lain urusan non Tuhan/bumi. Tidak ada doktrin: yang bukan kekuasaan gereja adalah kekuasaan kaisar, seperti dalam ke-Katholik-an.

Namun saking penuh dan panjangnya khasanah pemikiran dan peradaban Islam, semua alasan bisa dicari atas nama Islam. Sejarah telah menyediakan jawaban.

***

Berbicara tentang poligami, sebaiknya kita menengok kembali apa yang terjadi dalam pernikahan-pernikahan Nabi SAW. Saya mendapatkan petunjuk demikian:

  • bahwa Nabi SAW monogami, ketika KHADIJAH masih hidup. Masa berkabung Nabi, dan menikah lagi setelah 2 tahun wafatnya Khadijah. Masa hidup Nabi SAW bermonogami jadinya 28 tahunan, sedangkan poligami Nabi mengambil waktu 10an tahun sebelum wafat. Dan hanya dibolehkan oleh alQuran sampai di tahun ke-7 Hijriyah (lihat alAhzab: 52);
  • Nabi menikah lagi dalam waktu hampir bersamaan dengan 2 perempuan, SAUDAH (30) dan AISYAH (6). Riwayat yang lebih dapat dipercaya menyatakan bahwa dengan Aisyah saat itu baru merupakan pertunangan (in absentia). Saudah adalah sepupu dan saudara ipar Suhail, kepala suku Amir yang sangat relijius. Perkawinan dengan Saudah dianjurkan oleh beberapa pihak, dan Saudah diantarkan saudara Suhail yang lain, Hathib bin Amr, untuk dinikahi Nabi. Saudah adalah janda Sakran, termasuk pengikut Islam yang mula-mula, yang meninggal sesaat kembalinya dia dari emigrasi (hijrah pertama) ke Abyssinia. Di saat yang bersamaan, Abu Bakar sangat bersemangat untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Muhammad, dan mempertunangkan Aisyah dengan Nabi. Dari 2 pernikahan ini, terlihat bahwa sama sekali Nabi tidak berinisiatif, Karen Armstrong menyebutnya sebagai sebuah perencanaan praktis dibanding sebagai perjodohan cinta. Dan juga berdimensi politis, ketika pernikahan tersebut tengah membangun hubungan-hubungan penting persaudaraan. Ditambah lagi fakta bahwa keduanya dinikah Nabi jauh dari kepentingan tubuh dan nafsu, mengingat Saudah telah berumur 30, yang menurut tradisi Arab bukan usia yang menggiurkan, serta kenyataan bahwa Saudah berbadan subur, dan Aisyah masih bocah dan tidak langsung hidup sebagai suami istri dengan Nabi.
  • Selanjutnya Nabi menikah di Madinah, dengan:
  1. HAFSAH, anak Umar bin Khattab, ketika menjanda dalam usia 19. Umar menginginkan Hafsah yang terdidik dan berkelakuan baik mendapatkan jodoh selanjutnya dari kalangan sepadan. Sebelumnya dia menawarkan kepada Abu Bakar dan Usman, namun ditolaknya. Umar tersinggung dan mengadu kepada Nabi, dan Nabi kemudian menghiburnya dengan menyatakaan kesediaannya menikahi Hafsah;
  2. ZAINAB, anak Khuzaimah. Janda dari Ubaidah yang gugur saat duel (pertandingan pendahuluan) sebelum perang Badr;
  3. UMMU SALAMAH, janda Abu Salamah. Walau masih termasuk klan Abu Jahal, mereka para fanatik perjuangan Nabi SAW yang sangat penting. Diceritakan sebelum suatu peperangan, mereka saling berjanji untuk menikah lagi jika salah satu di antaranya gugur. Abu Salamah berdoa: Ya Allah! Beri setelahku seorang lelaki yang lebih baik dariku, seseorang yang akan membuatnya tidak bersedih dan luka.
  4. ZAINAB, anak perempuan Jahash. Sebelumnya adalah istri dari Zaid bin Haritsah, budak pemberian Khadijah yang kemudian dimerdekakan Nabi dan menjadi anak angkatnya. Zainab dan Zaid tidak pernah akur, karena perbedaan latar belakang yang sangat mencolok, Zainab dari kalangan terpandang sedangkan Zaid berasal sebagai budak. Zainab sendiri dikatakan sebagai orang yang bercita-cita dan punya kesadaran politis tinggi. Zaid kemudian mengadu pada Nabi SAW, bermaksud menceraikan Zainab. Nabi menyuruhnya bertahan, tetapi kemudian terbukti tidak dapat mendamaikan rumah tangganya. Lihat alQuran Surat 33:33;
  5. JUWAIRIYAH, anak perempuan Harits bani Mustaliq. Pertama bertemu dengan Nabi saat menjelaskan kecemasannya sebagai seorang sandera. Ayahnya kemudian ingin menebusnya dengan beberapa unta. Pada saat menghadap Nabi, ayah Juwairiyah bertanya kepada nabi mengenai dua unta yang dia sembunyikan sebelumnya beserta keterangan mengenai tempatnya (semacam teka-teki). Nabi bisa menjawabnya dengan sangat rinci, sehingga menyebabkan ayah Juwairiyah takjub dan langsung menyatakan keislamannya, diikuti dua saudaranya. Nabi melepaskan Juwairiyah dan diberi 2 unta oleh ayahnya. Juwairiyah kemudian masuk Islam, dan Nabi melamarnya. Sejak itu tersebar berita bahwa Banu Mustaliq telah bersaudara melalui pernikahan dengan Nabi SAW;
  6. UMMI HABIBAH, anak perempuan Abu Sufyan -pemimpin Quraish yang paling gigih melawan nabi. Suaminya adalah ‘Ubaidillah ibnu Jash, sepupu Nabi, Muslim pertama yang berpindah menjadi Kristen saat emigrasi ke Abyssinia. Ummi Habibah stress menghadapi kenyataan tersebut. Bertanggungjawab kepada aqidah Ummi Habibah ini, kemudian Nabi dengan memberi kuasa pada Raja Nejus untuk menikahkan dirinya dengan Ummi Habibah;
  7. MARIYAH (Miriam al Kiftiyyah) –Mariam yang beragama Koptik. Salah satu budak yang dikirim sebagai hadiah oleh Raja Mesir yang menolak halus ajakan Nabi untuk masuk Islam. Budak lainnya yang bernama Sirin, diberikan kepada Hasan bin Tsabit. Dari Mariyah, Nabi mendapatkan Ibrahim, anak lelaki ke3 Nabi yang meninggal saat kanak-kanak;
  8. SAFIYYAH, seorang Yahudi anak Huyayy. Suaminya, Kinanah adalah orang yang jahat terhadap Nabi. Pasukan Nabi menyerang suku Yahudi tersebut, dan tak menyisakan satupun lelaki dewasa. Safiyyah merupakan sandera yang ditawari bebas atau menikah dengan Nabi. Safiyyah memilih menikah;
  9. RAIHANA, seorang Yahudi yang sangat cantik, anak perempuan Zaid dari Bani Nadir di Khaibar. Dia merupakan ransom (denda pemulihan) yang menjadi hak Nabi. Nabi memberinya pilihan untuk bebas atau diperistri. Raihana memilih diperistri;
  10. MAIMUNAH, adik Ipar Abbas, salah satu paman Nabi. Ketika janda, ditawarkan untuk dinikahi Nabi. Sebagai rasa terima kasih, Muhammad menerimanya, mengingat jasa Abbas sebagai informan yang hidup di tengah-tengah Quraish.

Dari berbagai pernikahan itu, yang paling disorot orang, terutama kaum orientalis Barat adalah pernikahan dengan Aisyah dan Zainab janda Zaid. Dengan Aisyah yang sering dipersoalkan adalah usia saat Aisyah disunting Nabi, Nabi sering dianggap secara tidak sopan sebagai pengidap paedofilia (menyukai gadis bawah umur). Sumber yang hati-hati menyatakan bahwa perkiraan usia tersebut mungkin keliru, karena sebelumnya Aisyah telah dijanjikan untuk dinikahkan dengan putra Muth’im, kepala suku Naufal, pelindung Muhammad saat itu. Mereka memperkirakan saat dinikahkan (nikah gantung: tidak digauli terlebih dulu sebelum baligh), usia Aisyah adalah 12 tahun, usia yang siap menjelang dinikahkan.

Dengan Zainab, Nabi sering difitnah sebagai merebut istri anak angkatnya. Konon ada yang menceritakan bahwa di tahun 626, Nabi berkunjung ke rumah Zaid yang kebetulan saat itu Zaid tidak ada, dan melihat Zainab berpakaian minim. Ia pergi sambil bergumam: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menguasai hati.” Zainab menceritakan kunjungan dan penolakan Muhammad untuk masuk itu kepada Zaid. Zaid menemui Nabi dan menawarkan untuk mencerai Zainab. Namun Nabi menasehatinya untuk bertahan, meski selanjutnya perceraian terjadi. Dan selesai masa iddahnya, Zainab dinikah oleh Nabi.

alQuran mengabadikannya dalam Surat 33-33:

”Ingatlah ketika kau katakan kepada seseorang yang Allah anugerahi nikmat dan kaupun menganugrahinya nikmat: Tahanlah istrimu padamu dan bertakwalah kepada Allah. Tapi kau sembunyikan dalam hatimu apa yang Allah hendak nyatakan. Kau takut pada manusia tapi Allah lah yang lebih patut kau takuti. Maka tatkala Zaid menceraikan istrinya Kami kawinkan ia kepadamu. Agar tak ada kesulitan bagi orang-orang beriman untuk mengawini istri dan anak angkatnya. Bila mereka sudah menceraikannya.”

Tuduhan aib itu disangkal banyak pihak, termasuk oleh orientalis terkenal W Montgomery Watt. Kenyataannya pada saat itu usia Zainab adalah hampir 40 tahun. Sebuah angka yang tidak seksi lagi bagi perempuan Arab masa itu. Dan Muhammad saat itu berusia sekitar 56an tahun, sehingga naif bila melihat karakter keterjagaan Muhammad hanyut oleh nafsu terhadap wanita berumur hampir 40an tahun. Yang lebih masuk akal, kenapa terjadi gejolak di kalangan shahabat saat itu adalah lebih berkenaan dengan: hukum mengenai orang menikahi janda anak angkatnya yang sering dianggap sebagai anak kandung. Dan persoalan itu kemudian dijawab alQuran sebagaimana telah dikutipkan di atas, yang memberi peluang (memperkenankan) pernikahan seorang dengan bekas istri anak angkatnya.

Nah, kembali pada tema semula, Nabi Muhammad tidak pernah menyatakan bahwa pernikahan-pernikahannya eksplisit sebagai sebuah model keberagamaan, apalagi dengan kehilangan rendah hati menyatakan: ingin menguji keadilan, atau ingin memperlihatkan sebuah model ‘keadilan’ kepada publik, bahasa lainnya: menjadi uswatun hasanah poligami?! Saya penting menekankan wacana ini, mengingat seorang ulama Bandung (KH Miftah Faridl, sebagaimana dikutip koran Pikiran Rakyat 4 Desember 2006) berargumen: “Berpoligami adalah ajaran Allah SWT. Kaum Muslimin dibolehkan mengamalkannya. Karenanya, ini momentum yang tepat bagi dakwah Aa dan Teh Ninih (Aa Gym dan istri), serta para pendakwah lainnya, karena sudah terlalu lama ajaran Allah SWT -ihwal berpoligami- itu dilecehkan oleh mereka yang kurang ilmu.” Bagi saya ini sepertinya berbunyi: hai para pendakwah (yang baik hati dan budiman), berpoligamilah, agar poligami kelihatan menjadi ‘benar’!

Kalaupun mau disebut karena agama, pengamatan saya pada pernikahan Nabi, adalah karena kehendak menyelamatkan aqidah. Ini terlihat dalam kasus Ummi Habibah, dimana suaminya yang semula diharapkan sebagai diplomat Islam di Abyssinia (Ethiopia), ternyata malah menjadi Nasrani.

Lebih penting lagi, saya tidak menemukan di alQuran satu pujian pun kepada para poligamus (atau award, sebagaimana digagas Pak Puspo Wong Solo: Poligami Award). Berbeda halnya dibanding pujian bagi sabar, bersedekah atau menjadi aktivis perdamaian dan kemanusiaan. AlQuran malah banyak mencatat problem (baca: ujian!) dari poligami Nabi, ada berhubungan dengan rasa persaingan di antara isteri-isteri, ada juga mengenai timpangnya rasa kasih Nabi terhadap para istrinya, sehingga Allah SWT menurunkan ketentuan mengenai kebolehan Nabi untuk mengurus sendiri pergilirannya (baca ayat tentang pergiliran di Surat 33-alAhzab: 51), dan terdapat riwayat juga yang menyebutkan bahkan beberapa pekan sebelum wafat, Nabi hampir menceraikan seluruh istrinya, karena cenderung berebut harta (hasil rampasan perang), sehingga alQuran menyuruh memilih: menjadi istri Nabi dengan kesederhanaan atau mencintai perhiasan-perhiasan.

Namun, ini yang patut didalami hikmahnya: alQuran sangat bisa ditafsirkan secara berbeda mengenai poligami. Moralitas yang dikembangkan teks alQuran berkenaan dengan poligami, bila mau memakai kacamata filsafat etika, menurut saya campuran dari logika formal/silogisme dan fenomenologis. Kalau memakai model silogisme Aristoteles (yang juga dikembangkan Ibnu Rusydi) kesimpulannya begini:

  • A boleh dilakukan, jika memenuhi syarat B;
  • Bila B tidak bisa dilakukan, maka A TIDAK BOLEH DILAKUKAN

Diterapkan ke ayat-ayat tentang poligami, maka:

  • Menikah sampai 4 istri boleh, jika memenuhi syarat ADIL;
  • Kalau tidak bisa berlaku ADIL, kawinilah satu perempuan saja
  • alQuran tegas menyatakan: KAMU TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL, BETAPAPUN KAMU MAU

Diagram alur ini menyimpulkan kecenderungan alQuran untuk memihak monogami, karena BAGAIMANAPUN LAKI-LAKI TAKKAN BERLAKU ADIL DENGAN BERISTRI LEBIH DARI SATU. Lalu kenapa alQuran tidak melarang sekaligus poligami sebagaimana ia melarang khamr’ atau riba’? Dalam soal khamr’ dan riba’, alQuran melakukan evolusi moralitas dari yang tadinya dibiarkan, kemudian beranjak dipagari (seperti jangan sholat dalam keadaan mabuk), sampai terakhir sama sekali dilarang. Jawaban tegasnya: wAllahu a’lam! Namun kalau mau memakai khasanah pemikiran fenomenologis, maka menurut saya hanya boleh dilakukan dengan seluruh syarat full, bukan substitutif. Semua syarat dan kondisi yang menjadi konteks diturunkannya ayat-ayat poligami dalam alQuran tersebut harus dipenuhi.

***

Di sadur dari : OmPEri di Wikidot, this is nice article mas...

Makasih untuk bisa di sharing-kan.-

Thursday, July 8, 2010

Banyaknya Orang Memojokkan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Aisyah

Banyaknya orang memojokkan Nabi Muhammad SAW karena menikah dengan Siti Aisyah (yang katanya orang2..masih berumur 7 -9 Tahun), mereka mengatakan Nabi Muhammad Seorang yang gila SEX, pedofili dan julukan2 lain yang tidak bisa di pertanggungjawabkan.

Sungguh kasihan orang2 seperti mereka, semoga mereka selalu dibukakan pintu hidayah dan mendapatkan curahan rahmatNYA dari Allah SWT.

Silahkan simak Nukilan dibawah ini... (terima kasih tuk linknya..)

Adalah Tidak benar Nabi menikahi Aisyah saat usianya baru 7 tahun.
------------------

Di bawah ini adalah sebuah analisis tentang riwayat pernikahan Rasulullah saaw dengan Aisyah, buat menjawab pertanyaan bang Item. Diterjemahkan dari artikel di halaman ini: http://iiie.net/node/58

Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, "Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?" Saya terdiam.Dia melanjutkan, "Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?" Saya katakan padanya, "Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini." Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.


Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.

Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.

Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan alon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan
bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima. Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan sayaterhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.

Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya.

Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan enyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber

Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu'l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : " Hisham sangatbisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq "
(Tehzi'bu'l-tehzi'b, Ibn Hajar Al-`asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: " Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq" (Tehzi'b u'l-tehzi'b, IbnHajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

Mizanu'l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok" (Mizanu'l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu'l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).


KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.


KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:

Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Bukti #2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.

Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyahh dari 2 isterinya " (Tarikhu'l-umam wa'l-mamlu'k, Al Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.


Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, "Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah" (Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu'l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).

Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma'

Menurut Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la'ma'l-nubala', Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu'assasatu'l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr
al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: "Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?

KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.


Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab karahiyati'l-isti`anah fi'l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' wa qitalihinnama`a'lrijal): "Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb]."

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wa hiya'l-ahza'b): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb."

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyahikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.


BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda(jariyah dalam bahasa arab)" ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu adha' wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane's Arabic English Lexicon).

Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karenaitu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.

Bukti #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut
(bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris "virgin". Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p..210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah "wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan." Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.


Bukti #8. Text Qur'an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.

Ayat tersebut mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)


Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur'an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33
and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,"berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Jawabannya adalah Nol besar.

Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur'an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.


KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

Bukti #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

Summary:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.

Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur'an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana
tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Note: The Ancient Myth Exposed By T.O. Shanavas , di Michigan.
(c) 2001 Minaret from The Minaret Source: http://www.iiie.net/





wallahualam bissawab...

Tuesday, July 6, 2010

Ziarah ke Masjid Al-Aqsho dan Masjid Kubah Emas

Tuk yang ingin mengunjungi dan mendatangi Masjid Al Aqsho dan Dome Of Rock secara Virtual/Online di Yerusalem sana silahkan klik di link ini..
http://www.saudiaramcoworld.com/issue/200901/al-haram/tour.htm

have a nice trip...
Semoga bermanfaat..

Monday, July 5, 2010

LIbur dan Cuti Bersama Tahun 2011

Buat yang mau ngePlan Liburan di tahun 2011... simak aja nih liburan resmi versi pemerintah.. and Happy Planning.. sayangnya ada 5 hari hari libur yang kena di hari libur kerja (sabtu dan minggu)

Berdasarkan SKB tiga menteri, Selasa (15/6/2010), daftar libur bersama dan cuti bersama 2011 adalah sebagai berikut:
1 Januari (Sabtu) - Tahun Baru Masehi
3 Februari (Kamis) - Tahun Baru Imlek 2562
15 Februari (Selasa) - Maulid Nabi Muhammad SAW
5 Maret (Sabtu) - Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933
22 April (Jumat) - Wafat Yesus Kristus
17 Mei (Selasa) - Hari Raya Waisak tahun 2555
2 Juni (Kamis) - Kenaikan Yesus Kristus
29 Juni (Rabu) - Isra Miraj Nabi Muhammad SAW
17 Agustus (Rabu) - Hari Kemerdekaan
30-31 (Selasa& Rabu) Agustus - Hari Raya Idul Fitri 1432
6 November (MInggu/Ahad) - Hari Raya Idul Adha
27 November (MInggu/Ahad) - Tahun Baru Islam 1433
25 Desember (Minggu/Ahad) - Hari Raya Natal

Sedangkan cuti bersama Idul Fitri yakni pada 29 Agustus, 1 dan 2 September. Sedangkan 26 Desember cuti bersama Natal. Penetapan ini disahkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Nomor 1 Tahun 2010), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nomor: KEP 110/MEN/VI/2010) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. (dtc)

Happy planning...